Thursday, October 30, 2008

Tentang krisis AS ; Dahlan Iskan : Semua dalam Posisi Memegang Benang

Dahlan Iskan : Semua dalam Posisi Memegang Benang

Terlalu banyak pertanyaan seperti ini: Di saat Amerika Serikat dilanda krisis yang hebat seperti ini, mengapa dolarnya justru menguat? Mengapa harga emas justru merosot? Bukankah dalam suasana krisis mestinya harga emas naik?

Jawabnya tidak tunggal, tapi yang utama hanya satu: terlalu banyak orang di banyak negara yang membutuhkan dolar AS. Lembaga-lembaga keuangan raksasa yang dulu selalu meminjamkan uang dalam dolar AS, sekarang memerlukan dolar sebanyak yang bisa ditarik. Kalau dulu dolar mengalir dari AS ke seluruh dunia, kini semua dolar harus mengalir balik ke AS untuk menutup lubang menganga yang sangat besar akibat krisis itu.

Masih ada tambahan lagi: di AS banyak perusahaan atau aset yang dijual dengan harga murah. Akibatnya, orang kaya dari seluruh dunia juga banyak yang tergiur untuk membeli aset itu. Tentu mereka membutuhkan dolar AS. Perusahaan (saham) AS yang di luar negeri juga banyak yang dijual. Pembelinya juga perlu dolar. Perusahaan-perusahaan yang punya pinjaman dolar diminta membayar sebelum jatuh tempo. Kalau tidak bisa bayar, perusahaan itu disita untuk dijual. Juga pakai dolar. Apakah bisa menarik kredit sebelum jatuh tempo? Bisa! Baca akad kreditnya. Pasti menyebutkan klausul seperti itu.

Satu-satunya negara yang mata uangnya justru menguat terhadap dolar AS hanyalah Jepang. Ini karena fondasi ekonomi Jepang sangat kukuh. Uang cash-nya amat banyak dan dalam posisi aman. Bank-banknya punya sumber dana yang amat murah dan berjangka panjang. Penabung di Jepang hanya mendapat bunga 0,5% setahun.

Sebagai negara yang maju berkat dibantu AS (setelah kalah perang dunia dulu), semestinya Jepang kini harus membantu AS. Jepang punya kemampuan untuk itu. Cadangan devisanya nyaris USD 1 triliun! (USD 950 miliar). Dana pensiunnya, lebih gila lagi: USD 1,5 triliun. Kekayaan sejumlah orang berduit di sana mencapai USD 15 triliun. Dana deposito di bank mencapai USD 8 triliun.

Para ahli menyebutkan, dengan kemampuan itu Jepang bisa banyak berbuat. Toh, Jepang tidak mau melakukannya. Jepang harus memikirkan keselamatan negaranya dulu. Padahal, Jepang adalah kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia setelah AS. Padahal, Jepang tidak akan bisa seperti sekarang kalau dulu tidak dibantu AS. Undang-undang dasar Jepang saja yang membuatkan McArthur! Toh, dalam keadaan krisis seperti ini keselamatan diri sendiri dulu yang diutamakan.

Maka, jangan harap kalau Indonesia nanti terkena krisis, ada negara lain yang mau membantu. Kini, semua negara menyelamatkan diri masing-masing. Tidak akan ada balas jasa sekalipun. Karena itu, mumpung krisis yang berat belum mengenai kita, Indonesia harus memupuk terus kemampuan keuangannya. Rencana menurunkan harga BBM benar-benar harus dihitung dulu kapan saatnya yang paling tepat.

Sebenarnya krisis yang terjadi di AS menjadi lebih gawat, antara lain, juga karena hilangnya rasa percaya diri. Rasa konfiden itu mudah hilang kalau kita tidak punya cukup uang. Kian besar dana yang dimiliki negara, kian besar konfiden itu. Penyelenggara negara saat ini tidak boleh kehilangan konfiden hanya karena tekanan politik.

Sebenarnya bukan tidak ada keinginan Jepang untuk membantu AS. Seorang tokoh politik di sana, Kotaro Tamura, bahkan sampai jengkel karena inisiatifnya untuk membantu AS tidak mendapat sambutan di dalam negeri. Tamura, seorang invesment banking yang kini menjadi anggota DPR dan mengetuai satu faksi dalam partai pemerintah, berpendapat, mestinya Jepang bisa menggunakan uang cash-nya yang begitu banyak untuk ikut menyembuhkan ekonomi dunia.

“Ini sebenarnya kesempatan besar bagi Jepang,” kata Tamura seperti dikutip media seluruh dunia. “Sekarang ini, di AS, semuanya murah. Seharusnya kita menggunakan dana kita untuk membeli semua itu,” katanya. Dengan cara itu, kata Tamura, Jepang bisa memberikan sinyal yang baik bagi pulihnya ekonomi dunia. Apalagi, bantuan itu toh bukan pinjaman yang berisiko. Bantuan itu berupa kesediaan membeli aset-aset yang lagi dijual di AS.

Beberapa perusahaan Jepang memang sudah membeli aset tersebut. Mitsubishi membeli sebagian saham Morgan Stanley sebesar USD 9 miliar, membeli Union BanCal di San Fransisco sebesar USD 3,5 miliar, dan membeli Aberdeen Asset Management sebesar USD 190 juta. Tapi, itu dianggap belum ada artinya.

Kalau Jepang bisa membeli sebanyak mungkin aset murah di AS, kata Tamura, dalam 10 tahun mendatang Jepang akan menikmati hasilnya: hasil ekonomi dan hasil politik. Toh seruan Tamura itu tidak ada yang menggubris. Tamura yang baru 45 tahun dan yang dikenal suka berpakaian elegan (jarang politisi Jepang yang berani memakai pakaian yang mahal seperti dia) menjadi sangat ketus.

Bahkan, proposalnya agar Jepang membuat perusahaan negara seperti Temasek di Singapura juga ditolak. Padahal, selama ini dana-dana di Jepang itu hanya menghasilkan bunga yang sangat rendah: 0,5% setahun! Kalau dana itu diakumulasikan ke dalam satu usaha seperti Temasek, hasilnya bisa sampai 18% setahun.

Jepang memang bangsa yang paling hati-hati terhadap sesuatu yang berisiko. Tingkatnya bukan lagi sekadar hati-hati, melainkan sudah “benci pada risiko”. “Bahkan, risiko baik sekali pun,” ujar Tamura. Mana ada orang yang memilih dapat bunga 0,5% daripada 18%. “Orang Jepang itu tidak tahu apa artinya laba,” kata Tamura.

Tapi, itulah memang Jepang. Mereka menilai bunga 0,5% tapi aman lebih baik daripada “bunga 18%” tapi ada risikonya. Kita memang kagum dengan langkah seperti Temasek, tapi kini kita juga perlu bertanya berapa kerugian Temasek akibat krisis ini.

Demikian juga investasi Tiongkok di Blackstone yang mencapai USD 250 miliar dua tahun lalu, kira-kira juga sudah hilang setidaknya separonya. Ini berarti ada uang Rp 1.200 triliun yang tiba-tiba lenyap. Uang yang hilang sekejap itu sudah sama dengan seluruh APBN Indonesia!

Bagaimana dengan sikap Tiongkok? Kita belum pernah mendengar inisiatif Tiongkok untuk menggunakan cadangan devisa terbesarnya di dunia itu untuk ikut menyelamatkan Amerika. Tiongkok pasti ingin menyelamatkan dirinya sendiri dulu. Rakyatnya begitu banyak. Pabriknya yang harus tutup jumlahnya bukan hanya ribuan. Tiongkok pasti akan menggunakan cadangan devisa, pertama-tama untuk dirinya sendiri.

Apalagi Tiongkok pasti tahu bahwa meski terkena krisis, Amerika masihlah negara kaya. Saya sering menyebutkan dengan krisis ini status Amerika hanya turun dari “negara yang kaya raya” menjadi “negara yang kaya sekali”. Kapitalisasi pasar modalnya masih lebih besar dibanding Jepang, Korea, Jerman, Tiongkok, Prancis, Inggris, dan Australia dijadikan satu! Kekuatan ekonomi Tiongkok yang sudah kita puji-puji itu baru sebesar ekonomi satu negara bagian California.

Ibarat layang-layang, perusahaan-perusahaan di Indonesia kini masih dalam status terbang. Baru satu-dua yang oleng kehilangan angin. Tapi, semua pemilik perusahaan kini harus terus dalam posisi memegang benang sambil mata tetap terus mengawasi layang-layang masing-masing. Begitu kehilangan angin harus tahu apa yang harus dilakukan: tarik benangnya. Lengah sedikit, layang-layang itu bisa langsung nyungsep ke tanah. Mata tidak boleh berkedip. Jangan sampai, misalnya, ditinggal ke toilet sekalipun. Banyak yang mungkin menganggap ini berlebihan. Tapi, siapa yang beranggapan demikian, layang-layangnyalah yang akan nyungsep lebih dulu. (*)

No comments: