Thursday, October 30, 2008

Tentang krisis AS ; Saatnya Indonesia Nyalip di Tikungan

Saatnya Indonesia Nyalip di Tikungan
Catatan Dahlan Iskan

Tepat sekali langkah pemerintah Indonesia menghentikan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia kemarin. Terlambat sedikit kita bisa lebih kacau. Inilah saatnya kita mendahulukan nasib bangsa sendiri. Kita tahu, perusahaan asing lagi perlu uang untuk menutup lubang mereka yang dalam di negeri masing-masing. Karena itu mereka perlu uang cepat. Salah satu caranya adalah menjual apa saja yang dimilikinya, termasuk yang di Indonesia. Dan yang paling cepat bisa dijual adalah saham di bursa.

Saking banyaknya pihak yang mau jual itulah yang mengakibatkan harga saham jatuh 10 persen kemarin. Mereka berani jual murah, jual rugi, asal bisa segera mendapat uang cash. Sebenarnya sekaranglah saatnya untuk membeli kembali saham Indosat, Telkomsel, atau apa pun, tapi kita belum cukup kaya untuk melakukan itu.

Penutupan sementara bursa itu juga penting untuk mengamankan perusahaan-perusahaan nasional kita. Yakni perusahaan yang terlibat hutang besar di luar negeri yang jaminannya berupa saham. Misalnya Bumi Resource dan enam perusahaan milik Bakrie Group lainnya. Termasuk kebun sawitnya yang besar. Kalau harga sahamnya terus merosot, maka nilai jaminan utangnya langsung tidak cukup. Dalam keadaan seperti ini sangat mungkin terjadi hostile take over! Sangat bisa terjadi, tiba-tiba saja tambang batubaranya yang bergitu besar disita dan menjadi milik asing. Demikian juga perkebunan sawitnya.

Karena itu, bursa tidak perlu cepat-cepat dibuka kembali. Apalagi kalau itu hanya karena tekanan asing. Harus dihitung benar untung ruginya bagi kepentingan nasional. Memang Bumi Resource adalah milik Bakrie, tapi batubaranya dari bumi Indonesia (Kaltim). Kita juga berkepentingan mengusahakan Bakrie agar tetap jaya –antara lain agar bisa menuntaskan kasus Lapindo di Sidoarjo. Apalagi Bakrie pernah jadi contoh perusahaan yang hancur oleh banyaknya utang saat krismon 1997 yang tiba-tiba mampu bangkit menjadi orang terkaya di Indonesia. Jangan sampai, kini menjadi korban hostile take over asing akibat tidak mampu bayar hutang! Nilai saham Bakrie itu kini memang tinggal 20 persennya. Sangat mudah bagi asing untuk mengambil secara hostile!

Kini negara yang paling men-Tuhankan pasar bebas pun hanya berpikir menyelamatkan negaranya masing-masing. Apalagi negara yang masih miskin seperti kita. Saya cukup bangga atas ketegasan dan kecepatan pemerintah mengambil langkah ini. Penduduk kita cukup besar untuk bisa menjadi pasar kita sendiri. Kita masih bisa menanam jagung!

Sampai kemarin memang baru Rusia dan Indonesia yang mengambil langkah menghentikan perdagangan saham. Islandia (Iceland) sudah lebih dulu membuat keputusan mem-peg mata uangnya ke dolar karena terjun bebas. Kemarin sore WIB, Inggris membuat keputusan yang lebih konsepsional daripada Amerika.

Delapan bank raksasa direkapitalisasi sebesar Rp 700 triliun dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya harus untuk menjaga kelangsungan fungsi utama bank, termasuk memberi pinjaman pada pengusaha yang bergerak di sector riil. Di dalamnya termasuk bank-bank kelas dunia seperti HSBC, RBS, dan Standard Chartered. Inggris yang dulunya pelopor swastanisasi, kini di arah sebaliknya.

“Ini jalan keluar yang tujuannya untuk memulihkan kepercayaan, sekaligus memperkokoh sistem perbankan,” ujar Perdana Menteri Gordon Brown.

Menurut Brown, dalam mengatasi kesulitan yang begitu serius, jalan keluarnya memang harus komprehensif. Juga harus kreatif dan tidak sekadar dogmatis. Menaikkan suku bunga yang dilakukan Bank Indonesia, menurut saya termasuk yang hanya dogmatis dan kurang kreatif itu. Yakni satu dogma bahwa untuk menahan orang agar tidak ramai-ramai menukarkan uang ke dolar haruslah memberi rangsangan pada pemegang rupiah. Ya, menaikkan suku bunga tadi. Tapi dampak yang lain sangat berat. Untung naiknya hanya kecil (25 basis poin).

Kita punya batubara bermiliar ton dan hasil bumi lainnya. Ini yang harus diamankan lewat kebijaksanaan nasional. Mestinya, masih lebih baik nasib kita yang memiliki hasil bumi tersebut daripada negara yang hanya punya kertas saham atau commercial paper dengan nilai yang hancur saat ini. Kita memang tidak punya cadangan saham di mana-mana. Karena itu jangan pula yang masih kita punya itu hilang pula. Saatnya nasionalisme dipertahankan. Sambil lihat-lihat perkembangan dunia. Kalau kita pintar, kita bisa menyalip di tikungan! **

No comments: