Thursday, October 30, 2008

Tentang krisis AS ; Sebuah Kuburan Keruwetan

Sebuah Kuburan Keruwetan
Catatan Dahlan Iskan

Di kuburan besar itu tidak ada penjelasan siapa yang dimakamkan rame-rame di situ. Di tiap batu nisannya hanya tertulis kata-kata begini: penyebab kematiannya adalah keruwetan.

Oh…, tidak sulit menebak kuburan siapa gerangan itu: Lehman Brothers dan kawan-kawan!

Dan keruwetan yang menyebabkan tewasnya berbagai perusahaan terbesar di dunia itu adalah sebuah urusan yang, menurut Warren Buffett, bernama “racun derivatif.”

Racun itu terbuat dari ramuan “kecerdasan, gairah dan kerakusan.” Unsur-unsur dalam ramuan itu misalnya commercial papers, mortgage back securities, short selling, hedging, over the counter, credit default swaps, equity swaps, interest swaps, margin trading, futures, forward, option, dan banyak lagi. Kalau toh bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti dari tiap-tiap istilah keuangan itu tetap saja ruwet. Seruwet memahami definisi dan peraturannya.

Gampangnya: semua itu adalah anak-cucu dari sistem perbankan yang merasa tidak cukup lagi kalau hanya dapat keuntungan dari menerima tabungan dan memberi pinjaman. Harus diciptakan produk-produk perbankan yang baru. Itulah derivative. Yang menciptakannya harus cerdas, bergairah dan rakus. Yang menjalankannya harus bergairah, rakus dan cerdas. Yang memilikinya tidah harus cerdas, tapi tetap harus rakus dan bergairah.

Saya punya teman pengusaha besar yang asalnya sangat miskin. Dia lima bersaudara. Saudara tertua kerja mati-matian banting tulang secara fisik. Sampai harus bertani dan kemudian berkebun sendiri. Lama-lama si sulung itu jadi pengusaha besar hasil bumi. Dia tidak ingin adiknya tidak sekolah tinggi seperti dia. Karena itu adiknya yang terkecil disekolahkan ke Amerika. Sekolah keuangan. Maksudnya, agar perusahaan keluarga yang dikelola secara tradisional itu kelak bisa jadi perusahaan yang modern.

Si bungsu sekolah dengan tekun dan jadi ahli keuangan. Ketika pulang, ia merasa perusahaan yang dirintis kakaknya itu harus dibuat modern. Sistem keuangannya harus secanggih di AS. Terutama struktur pendanaannya. Si sulung merasa bodoh dan karena itu menyerahkan saja semuanya ke si bungsu. Terjadilah krismon. Struktur keuangannya ternyata rapuh. Perusahaan itu mengalami kesulitan yang luar biasa. “Pak Dahlan, gara-gara adik, sekarang saya harus kembali bertani lagi,” katanya saat Krismon masih berlangsung. Syukurlah kini sudah jaya kembali.

Sistem keuangan modern memang luar biasa variasinya. Apalagi dapat dukungan sistem komputer. Perdagangan derivative kian lama kian membesar. Tentu semuanya di atas kertas, atau di layar komputer. Meski namanya jual-beli, tapi yang berpindah tangan bukan barang atau uang, melainkan angka-angka. Bertukarnya juga sangat kilat. Antarnegara sekalipun bisa secepat kilat. Kalau tanam tebu memerlukan 16 bulan, menanam derivative hanya dalam hitungan detik.

Enam tahun yang lalu, Warren Buffett, sudah mengingatkan secara terbuka bahaya perdagangan derivative ini. “Derivative adalah senjata pemusnah masal keuangan,” katanya. Waktu itu istilah senjata pemusnah masal lagi top-topnya sebagai alasan Presiden Bush untuk menyerang Iraq dan menangkap Saddam Hussein. “Saya tidak tahu kapan meledak, tapi suatu hari kelak pasti meledak,” tambahnya.

Derivatif ternyata meledak sekarang.

Warren Buffett adalah orang terkaya di dunia saat ini, mengalahkan Bill Gate. Dialah Chairman Berkshire Hathaway yang memiliki bisnis ritel terbesar di dunia Wallmart. Dia punya pengalaman pahit membeli perusahaan yang rupanya sudah digelembungkan melalui berbagai perdagangan derivative. Mau dia jual lagi tidak laku. Maka dia harus membersihkan “lemak dan kolesterol” dari perusahaan itu selama lima tahun dengan kerugian yang sangat besar. Dari situ dia menyimpulkan bahwa derivative pasti akan meledak jadi bom keuangan. Bahkan dalam lima tahun setelah dia ucapkan, bom itu sudah lima kali lipat besarnya.

Subprime ternyata hanya satu bagian kecil saja dari penyebab kekacauan keuangan sekarang ini. Volume uang yang terkait dengan derivative ini jauh lebih besar dari perkiraan semula yang hanya sekitar USD 15 triliun. (Dalam rupiah harus ditulis begini: Rp 1.300.000.000.000.000). Bisa jadi transaksi derivative ini mencapai USD 516 triliun. Angka ini dikeluarkan oleh “ketuanya” bank-bank sentral seluruh dunia yang disebut Bank of International Settlement (BIS) yang berpusat di Basel, Swiss.

Begitu besar dan ruwetnya, sampai sampai menurut Buffett, pemerintah mana pun, termasuk USA, tidak bisa lagi mengontrol perdagangan derivative itu. “Bahkan hanya untuk memonitor pun sudah tidak mampu,” katanya.

Derivative ini sebenarnya sudah sulit dibedakan dengan perjudian. Dalam perdagangan saham murni, meski ada unsur spekulasinya, tapi masih bisa dianalisa. Tapi dalam perdagangan derivative yang bisa menganalisa hanya para pelaku sistem itu. Pemilik uang sulit memahaminya.

Saya punya teman baik yang juga penggemar formula one. Sukanya keliling dunia. Dan memotret. Dia pernah kerja keras selama 20 tahun untuk mengumpulkan uang sampai Rp 40 miliar. Uang itu dipercayakan kepada satu bank di Singapura untuk diputar. Masuklah ke mesin derivative. Dalam hitungan detik, uang itu amblas. Di meja judi pun tidak akan secepat itu!

“Saya ini kebalikan dari anda,” katanya menghibur diri. “Kalau Anda, sakit hati dulu lalu mengeluarkan uang. Kalau saya, mengeluarkan uang dulu, lalu sakit hati,” katanya.

Tidak sedikit orang atau perusahaan yang punya jalan hidup seperti itu.

Memang tidak gampang memahami rumus derivative ini. Saya biasanya menghindar saja, daripada pusing. Kelihatannya memang ndeso, bodoh dan tidak modern, tapi saya memang benar-benar sulit memahami rumusnya.

Bahkan, rumus itu ternyata memang tidak pernah ada. Kesalahan pokok sistem derivative adalah tidak adanya kepastian apakah harga saham, uang, bunga, marjin, asset dan seterusnya itu bisa diperkirakan untuk jangka 3 atau 5 atau 10 tahun. Bahkan tidak bisa diketahui apakah pasarnya itu memang ada. Artinya, kalau satu saham yang dibeli itu kini harganya Rp 1 juta, lalu diperkirakan 5 tahun lagi menjadi Rp 10 juta, maka pertanyaannya adalah: apakah benar lima tahun kemudian jadi 10 juta? Kalau toh “ya”, apakah ada pembelinya?

Karena kepastian itu memang tidak ada, maka digunakanlah berbagai asumsi. Sekian banyak asumsi lantas dijadikan satu menjadi “model”. Variasi dari gabungan asumsi itu melahirkan berbagai model. Belakangan jadilah “model’ itu seperti fakta kebenaran. Yang semula hanya “model” lantas seperti “pasar yang sesungguhnya”.

Akibatnya, sebelum transaksi selalu angka-angkanya dimasukkan begitu saja ke dalam model di komputer. Komputer yang akan menganalisa. Lalu keluarlah angka-angka akhir: berapa harga saham atau uang itu 5 tahun ke depan. Nilai itulah yang kemudian dianggap sebagai kekayaan riil saat ini. Termasuk bisa menjualnya atau menjaminkannya untuk pinjam uang. Jaminan itu lantas dijaminkan lagi, dijaminkan lagi, dijaminkan lagi….jadilah pasar derivative menjadi sebesar USD 516 triliun.

Betapa besarnya angka itu bisa dilihat dari data BIS berikut ini. Nilai saham dan bond di seluruh dunia hanyalah USD 100 triliun. Total nilai real estate di seluruh dunia (yang di pasar modal) adalah USD 75 triliun. GDP Amerika adalah USD 15 triliun.

Jadi, jangan diingat-ingat tulisan ini. Pertama, meski sudah disederhanakan penulisannya, tetap saja ruwet. Kedua, kalau diingat-ingat, bisa takut sendiri.

No comments: