Tuesday, January 13, 2009

Agama adalah akal

“Agama adalah akal. Tidak ada kewajiban beragama bagi orang yang tidak berakal.” (al-Hadis).

Memang, tidak semua hal di dalam agama yang mampu dikaji oleh akal, terutama yang berkaitan dengan dzat yang berada “di atas” manusia, yaitu Tuhan. Tidak mungkin kita yang berada di dalam lingkup ruang dan waktu dapat mengenal Tuhan dengan akal kita. Kita tidak tahu bentuk dan rupa Tuhan, kita tidak tahu di mana posisi Tuhan, kita tidak tahu sedang apa Tuhan, kita tidak tahu apa mau Tuhan, dan seterusnya, dan sebagainya. Bahkan seorang nabi pun tidak dapat mengenal Tuhan. Semua itu hanya karena Tuhan sendiri yang memperkenalkan diriNya kepada para nabi. Contoh : “Katakanlah (kepada mereka) bahwa Aku ini satu, Aku tidak beranak dan tidak diperanakkan?” dan seterusnya.
Jadi, kita “mengenal” Tuhan karena berita dari nabi, dan kita bisa menerima (perkenalan) itu (sebagian besar) dengan keyakinan (iman), sisanya kita hanya bisa “mengenal” Tuhan dari dari ciptaanNya (setelah lebih dulu kita memiliki iman). Jadi, tanpa iman, orang tidak akan percaya dengan adanya Tuhan. Kita mau bolak-balik akal dari hasil ciptaanNya yang bisa kita saksikan ini tidak akan mengubah pandangan orang atheis, karena mereka tidak dilandasi iman.

Hal gaib yang paling dekat dalam kehidupan kita adalah nyawa (sumber pemberi kehidupan/ power supply), dan ruh (kekuatan/ software). Mereka (gaib-gaib tersebut) memerlukan tempat agar dapat `berada’ di alam berdimensi ruang dan waktu, yaitu tubuh (hardware). Dengan demikian, gaib-gaib kita sebenarnya tidak ada di alam ini, sehingga bila mereka `dipanggil kembali’ oleh Sang Pencipta (istilahnya : meninggal dunia), maka mereka tidak ada (lagi) di dunia ini. Jadi tidak ada itu arwah gentayangan di dunia, arwah tersesat di dunia, dan sejenisnya. Akal kita pun tak bisa mengetahui dengan pasti di mana `kita’ berada sebelum diberi tubuh, dan kemana tempat `kita’ akan kembali.

Apakah Tuhan (dan arwah-arwah manusia) kini ada di (lapis) langit ke tujuh sebagaimana nabi Muhammad pernah melakukan perjalanan dalam rangka isra’ mi’raj ?. Kalau begitu, masih berada di alam material (dimensi ruang dan waktu), yang suatu saat bisa `dilayari’ pesawat ulang-alik (hasil karya akal manusia), jadi bisa piknik ke surga dan neraka dong ??. Ingatkah kita ketika (ruh) kita berkumpul sebelum kita menempati tubuh-tubuh kita sekarang ?, tentu tidak ada yang ingat. Itulah keterbatasan akal (daya ingat) kita. Ketika itu (menurut orang tertentu yang tidak perlu saya sebut namanya), kita sudah menandatangani `surat perjanjian’ dengan Tuhan, mau jadi apa kita di dunia nanti. Jadi (katanya), belum tentu seorang pelacur akan masuk neraka, tergantung perjanjiannya dulu. Yang pasti, tidak satu orangpun (kecuali mungkin para nabi) yang bisa tahu akan dimasukkan ke neraka atau surga nantinya. Kini kita hanya bisa berusaha dan berharap untuk dimasukkan ke surgaNya dengan mengikuti segala petunjuk yang diberikan oleh agama kita. Surga dan neraka pun akal kita tidak bisa mencapainya, semua hanya dipersepsikan (digambarkan) sesuai dengan petunjuk para nabi. Masuk ke surga atau neraka, itu adalah hak prerogatif Allah.
Dua hal yang pasti adalah (1) Tuhan tidak akan pernah berpaling (memungkiri) ketetapan-ketetapan (hukum-hukum) yang telah dibuatnya, dan (2) setiap janji Allah pasti akan dikabulkannya. Untuk itu, bila kita ingin masuk surga adalah dengan cara mengikuti ketetapan-ketetapan Allah dan mengerjakan hal-hal yang telah dijanjikan oleh Allah akan dibalas dengan surgaNya.

HARDWARE dan SOFTWARE : IMBAL-BALIK

Virus komputer (yang software) bisa merusak data (software) kita dan akibatnya (bisa juga) merusak (fungsi) hardware. Air (yang hardware) bisa merusak CPU kita (hardware), dan akibatnya, bisa merusak pula (fungsi) software. Selalu ada aksi-reaksi antara software dan hardware.
Begitupun pada diri manusia, jangan berbangga atau berbahagia dulu jika Anda bergelimang harta karena (hasil) korupsi atau mengambil yang bukan hak Anda. Pasti harta itu akan kembali (pergi) lagi dari Anda, dan perginya itu dengan cara-cara yang merupakan pembalikan dari kebanggaan dan kebahagiaan Anda dulu ketika mendapatkan harta itu. Siapkah Anda ?.
Lihatlah di sekeliling kita, orang-orang yang korupsi, tampaknya mereka tenang dan bahagia. Sebetulnya tidak, mereka hanya pandai bersandiwara di depan kamera atau di depan publik. Padahal hatinya banyak yang sedang menderita hebat. Ada hartanya yang sedang dikeluarkan untuk membayar puluhan Pengacara kondang, sementara kasusnya tidak tuntas-tuntas, keluarga berantakan, anak-cucunya sakit-sakitan, istrinya minta cerai, teman-teman dekatnya kabur, tidurnya tidak bisa nyenyak, penyakit mulai menggerogoti, dan sebagainya-dan sebagainya.

HUKUM KARMA ?

Di Islam memang tidak digunakan istilah `hukum karma,’ tetapi banyak ayat yang secara tersirat menyatakan bahwa “apapun yang kamu lakukan (baik atau buruk) hasilnya akan kembali kepada dirimu sendiri.” Serupa juga dengan pepatah kita “siapa menanam benih, dialah yang akan memanen hasilnya.”
Secara akal memang tidak dapat diterima, kita mendapatkan uang (meski dengan cara apapun) kok (uang) itu (nantinya) akan kembali (pergi) dari kita. Kan bisa saja kita keluarkan dengan perhitungan cermat agar mampu dinikmati keturunan-keturunan kita, bahkan hingga tujuh turunan.
Tentu saja bisa, bahkan sampai turunan ketujuh bahkan lebih. Tapi itu harta yang tampak (hardware), tetapi tidak dengan harta tak tampak (software). Harta yang tidak tampak adalah kesehatan, kebahagiaan, ketenangan, dan sejenisnya. Bisa jadi, biaya kesehatan ditanggung perusahaan (pemerintah), tapi, enakkah sakit ?, apalagi harus bolak-balik ke rumah sakit. Bahagiakah jika kita mendapatkan anak-anak kita nakal, bodoh, cacat, narkobais, dan semacamnya ?. Bisa jadi kita bisa membeli kebahagiaan lain (berpaling sejenak/ kebahagiaan semu), tetapi ketika kembali ke kenyataan ?. Bisakah kita tenang jika malam tiba kita diingatkan akan kematian kita ?, bisakah kita tenang ketika aparat penegak hukum mulai mendekati kasus kita ?.

NASIB dan TAKDIR

Akal kita juga sulit untuk memecahkan pertanyaan “berapa lama usia hidup seseorang ketika orang itu baru dilahirkan (masih bayi) ?.” Sama juga ketika ditanya “kenapa si A harus meninggal, sementara si B belum, padahal usianya sama, dan sama-sama naik pesawat naas itu ?.”
Nasib adalah keadaan nyata mulai saat ini ke depan (saat ini dan yang akan terjadi), sedangkan takdir adalah masa lalu (telah terlewati/ telah terjadi). Saat ini kita miskin, maka itu nasib, masih dapat diperbaiki ke depannya. Mobil itu telah hancur karena menabrak pohon, maka itu adalah takdir. Jadi, tidak ada satu orang pun yang sudah ditakdirkan masuk ke surga atau neraka, karena hal itu belum terjadi. Hal ini merupakan bantahan saya kepada ulama yang menyatakan bahawa setiap orang sudah ditetapkan (ditakdirkan) masuk ke surga atau masuk ke neraka sejak saat ia dilahirkan. Yang diterapkan akan masuk ke surga atau neraka adalah perilakunya, bukan orang per orangnya. Sehingga jika ada orang yang (misalnya) berperilaku buruk selama hidupnya, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka, siapa pun orangnya.
Hancurlah peradaban bumi jika orang per orang sudah ditetapkan surga atau nerakanya. “Kan kita belum tahu ?, maka kita harus berusaha berbuat baik agar bukan kita yang ke neraka ?” kata ulama itu. “Ngapain harus tahu dan ngapain harus berbuat baik kalau ketetapan itu sudah ada. Jika kita telah ditetapkan masuk ke neraka, kenapa juga capek-capek harus berbuat baik, mendingan mulai sekarang berbuat tidak baik saja, toh kalau masuk neraka memang sudah selayaknya, tapi mungkin juga kan (ditetapkan) masuk surga ?, dari pada berbuat baik terus tetapi telah ditetapkan masuk neraka juga.”
“Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika tidak kaum itu sendiri yang mengubahnya.” So, Tuhan `lepas tangan’ kan ?. Tuhan menciptakan segalanya sudah berikut sistem (tatanan) di dalamnya. Jadi, ke depan, silakan orang sendiri yang harus mengubahnya, jangan harap Tuhan menjatuhkan `harta’ ke orang-orang yang hanya menadahkan tangannya minta kekayaan.
Jadi, pesawat ulang-alik yang meledak di udara dinamakan dengan takdir (awaknya meninggal dan peswatnya hancur). Tetapi teknologi kedirgantaraannya baru saja menerima takdir buruk tentang kehancuran pesawat itu, ke depan, rancangan pesawat baru (nasib) masih bisa diperbaiki (diubah/ modifikasi) dengan cara mempelajari kejadian itu.
Seorang ulama pernah menyatakan bahwa nasib (buruk) akan terjadi ketika kenyataan yang (akan) didapatnya kurang dari apa yang dipikirkan, apa yang dikhayalkan, apa yang diharapkan, atau apa yang dipersepsikan oleh seseorang. Misalkan, seorang pedagang mengharapkan akan mendapat keuntungan 10 dari dagangannya, ternyata hanya mendapat keuntungan 2, sehingga dia berkeluh `oh, nasib?).

PAHALA dan DOSA

Banyak ayat yang mengajak kita untuk melakukan hitung-hitungan tentang pahala dan dosa. Misalkan saja, jika kita sholat berjamaah, maka pahalanya tujuhbelas kali lipat dari pada sholat sendiri. Beribadah di malam lailatul qadr pahalanya lebih baik dari seribu bulan, dan semacamnya. Sudahkah Anda menghitungnya ?.
Sementara, untuk dosa tidak ada hitung-hitungannya, melainkan secara global saja, dosa kecil, dan dosa besar (tentu ada pula yang di tengah-tengahnya atau yang mendekati keduanya). Saya sendiri sampai saat ini tidak tau pasti, dosa besar itu bisa dibayar dengan pahala sebanyak apa (berapa perhitungannya ?).
Tuhan itu Maha Cepat Perhitungannya, karenanya tidak ada ciptaanNya yang dibuat secara asal-asalan, semua memiliki perhitungan (rumusan atau satuan). Bumi berputar mengelilingi matahari ada hitungan rumusnya dan ada satuan waktunya. Lalu, untuk pahala dan dosa bagaimana rumusannya dan apa pula satuannya ?. Bisakah akal kita `menggapainya ?’ sehingga sejak dini kita bisa tahu neraca `balance’nya.
Ada ayat yang intinya menjelaskan bahwa “tutupilah keburukanmu (dosamu) dengan kebaikan (pahala),” “penyakit yang kau derita merupakan pembakaran atas dosa-dosamu, maka bersabarlah,” “puasa merupakan upaya untuk menghapus dosa-dosamu,” “setan berada di setiap aliran darahmu,” dan ayat-ayat semacamnya.
Kemungkinan, ada hubungan antara dosa-penyakit-setan, dan pahala-obat-antibodi. Jadi, jika seseorang selalu berbuat kejahatan dalam hidupnya, maka dosa-dosanya akan bertumpuk yang menjadikan tubuhnya ditimbun berbagai bibit penyakit yang mengakibatkan tabiatnya menyerupai setan. Tabiat setan adalah pengganggu orang baik, penggoda iman, memanasi hati, pembangkang dari kebenaran, dan sejenisnya. Jadi, orang yang jahat pasti paling suka mengganggu orang yang baik, menggoda orang yang beriman, suka memanas-manasi hati agar merusak keimanan seseorang, dan sejenisnya.
Sebaliknya, orang yang suka berbuat baik, maka ia telah menimbun dirinya dengan obat yang akan menyerang penyakit-penyakit (dosa-dosa) yang sempat masuk (tidak ada orang yang luput dari dosa), dan akan menguatkan tubuhnya dengan memproduksi zat antibodi (penguat iman) dalam tubuhnya sendiri. Dengan demikian, orang yang baik pasti (hatinya) akan merasa sehat (tenang, tenteram, damai), dan selalu meningkatkan amal ibadahnya dari waktu ke waktu.

Dengan demikian, akan ada hubungan antara sifat (software) dan penyakit (hardware) yang diderita. “Hendaklah manusia memperhatikan apa yang dimakannya, pilihlah makanan yang baik-baik?” Makanan yang baik-baik di sini, bukan semata merupakan makanan yang berprotein baik, tinggi gizi, dan semacamnya, melainkan termasuk juga baik cara mendapatkannya (halal). Pernah kita perhatikan bagaimana seorang pemulung yang sedang makan di areal sampah yang penuh lalat tetapi ia sehat-sehat saja. Sering pula kita saksikan orang yang makan makanan bergizi, dan di tempat yang bersih tetapi sering sakit.
“Di dalam tubuh manusia ada segumpal daging yang bila ia sakit maka akan sakitlah seluruh tubuhnya, daging itu adalah hati?” Kata `hati’ di sini, bisa saja diartikan sebagai hardware, yaitu lever, dan dapat juga diartikan sebagai software yaitu batin. Orang yang terkena penyakit lever (stadium tinggi), maka hatinya akan mengeras, dan akibatnya, ia tak bisa makan maupun minum. Karena tubuh tidak mendapat asupan makanan dan minuman, maka sakitlah seluruh tubuhnya. Begitu juga, orang yang batinnya sakit, maka seluruh sendi-sendi kehidupannya akan menjadi sakit. Salah satu penyakit batin yang berat adalah rasa putus asa, dengan keputus-asaan, orang bisa jadi `gelap mata’, bahkan bisa melakukan bunuh diri.

KESIMPULAN

Tuhan menganugerahi manusia dengan akal, berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya (anorganik), tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sesuai dengan usia dan kematangan jiwa seseorang, maka seharusnya akalpun `diajak’ untuk maju berkembang, baik dalam cara berfikir maupun kemampuan mengolah data (informasi).
Seperti pada kata `membaca dua kalimat syahadat,’ jika kita masih di bawah umur (belum akil balik) maka cukuplah dengan mengucap kalimat itu (hafalan), tetapi kalau kita sudah akil balik, maka kalimat itu tidak cukup hanya untuk diucapkan (melainkan harus dimengerti). “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah” harus kita aplikasikan dalam kenyataan (sifat Wujud Tuhan), yaitu segala yang apa yang kita miliki berasal dan akan kembali kepada Allah, tidak ke yang lain. Karenanya, tidak perlu terlalu berduka bila kita sedang ditimpa bencana (simpanlah duka itu sendiri, jangan berkeluh-kesah), dan tidak perlu terlalu senang bila kebahagiaan sedang diberikan kepada kita (bagilah kebahagiaan itu pada sesama). Orang miskin adalah ladang amal orang kaya, orang bodoh adalah ladang amalnya orang pandai, dan seterusnya.
Begitu juga dengan amalan-amalan lainnya, sholat, puasa, zakat, haji, dan berbagai amalan-amalan lain, harus mampu diwujudkan dalam tingkah laku kita sehari-hari. Saya berpendapat, belum haji lah seseorang, bila di sana (masjidil haram), seseorang itu berhasil mencium hajar azwad (batu di sudut ka’bah) dengan cara menyakiti (menginjak, mendorong, menyikut, dsb.) jamaah-jamaah lain.
Jadi, manfaatkanlah akal untuk berpikir dalam `mewujudkan Allah’ di dalam sendi-sendi kehidupan kita. Jangan gunakan akal untuk menjadi akal-akalan (mencari dalih pembenaran) atas perbuatan dosanya. Misalkan, `saya tidak korupsi, (hasil) ini merupakan pemberian orang lain secara ikhlas,’ dari mana ia tahu orang lain itu ikhlas ?, apakah ia akan memberi itu juga bila ia tidak memegang jabatan tertentu ?.
sumber web : http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/bwahyudi/category/uncategorized/

No comments: