Monday, November 3, 2008

"Musisiku": Oase Baru Sejarah Musik Indonesia

"Musisiku": Oase Baru Sejarah Musik Indonesia
Judul : Musisiku
Halaman : 312 Halaman
Pengarang : Komunitas Pecinta Musik Indonesia (KPMI)
Penerbit : Penerbit Republika
Cetakan I : November 2007

Oleh
M Latief

SIAPA Benyamin Sueb atau Bang Ben sebagai musisi kocak, kita tentu tahu. Tapi siapa ngeh, jika lagu “Ampunan” yang dinyanyikannya bersama Al Haj membuat sosok Babe ini kontan terbalik seratus delapan puluh derajat?

Ya, lagu yang dinyanyikannya di album Biang Kerok (1992) itu betul-betul menyulap seorang Benyamin Sueb sebagai sosok yang sangat serius. Jauh dari kesan tukang banyol nan konyol, yang tergambar dari sekitar 70 album yang membinarkan namanya.

Bukan itu saja. Lagu itu seakan kian menguatkan, bahwa Bang Ben memang musisi serbabisa. Selain mampu meramu dan melantunkan musik gambang kromong dan pop, keroncong, dangdut, rock ’n roll, blues, serta R & B, ternyata Bang Ben juga lihai mengikuti irama progresif rock racikan Al Haj.

Lain Bang Ben, lain pula Gombloh. Tak lain, si nyeleneh, yang karena penampilan panggungnya lebih pas disebut ”tukang ngamen” daripada musisi hebat itu, ternyata juga punya prestasi patut diacungi jempol. Berkat konsistensinya menyanyikan lagu-lagu kritik sosial dan perjuangan, seorang peneliti sosial, Martin Hatch, dari Cornell University, Amerika Serikat, pernah memberikan perhatian khusus padanya.

Match mempelajari lagu-lagu Gombloh di album Gombloh Berita Cuaca (1982). Dari situ, Match mengangkatnya ke dalam sebuah karya ilmiah bertajuk “Social Criticsm in the Songs of 1980’s Indonesian Pop Country Singers” dan mempresentasikannya dalam seminar musik The Society of Ethnomusicology di Toronto, Kanada, 2 – 5 November 2000 lalu.

Era 50 sampai 80-an
Bukan cuma Bang Ben atau Gombloh, masih sederet nama musisi Indonesia lain patut dikenal, dikenang, dan dihargai, baik dari perjalanan karier hingga menuai prestasinya dalam berkarya. Ya, termasuk kisah-kisah lain di balik sukses dan kegagalan mereka, yang bisa dipetik sebagai pelajaran bagi perkembangan dunia musik Indonesia itu sendiri di masa depan.

Apakah Anda yang mengaku senang mendengarkan Koes Ploes tahu bahwa perjalanan konser Tonny, Yok, Yon, dan Murry pernah punya andil besar terhadap proses integrasi Timor Portugal (kini Timor Leste) ke dalam bagian negara Indonesia? Atau, si Kribo ”Ahmad Albar”, yang ternyata pernah berjaya bersama band bernama Clover Leaf di Negeri Belanda sebelum akhirnya berposisi sebagai vokalis God Bless yang dipuja-puja?

Lalu, apa itu Dara Puspita, The Gembell’s, Barong’s Band, atau Giant Step? Siapa itu Sylvia Saartje, Euis Darliah, Mogi Darusman, atau Deddy Stanzah? Apa hebatnya mereka ketimbang Dewa 19, Padi, Ariel dengan Peterpen-nya, Bam’s dengan Samsons-nya atau bahkan disandingkan dengan Kangen Band?

Setidaknya, jawaban bertubi pertanyaan itu ada di buku ini. Karena di tengah minimnya dokumentasi sejarah perjalanan musik Indonesia, buku Musisiku hadir seolah oase pengetahuan baru bagi insan pecinta musik Indonesia, baik itu pengamat musik, sejarawan, peneliti, bahkan sekelas tukang kaset loak sekalipun, yang sangat berharga.

Setebal 312 halaman, Musisiku laiknya sebuah ensiklopedia musik Indonesia, berisi kisah pemusik atau musisi (pop) Indonesia dari era 50-an hingga 80-an, Musisiku membedah perjalanan para musisi dari era-nya masing-masing, tersaji lengkap mulai dari sisi historis, biografi, diskografi, bahkan sampai filmografi, termasuk the untold stories unik para musisi itu sendiri.

Merunut di era 60-an, hadir musisi seperti Bing Slamet sampai Lilis Surjani. Keemasan era 70-an diwakili oleh musisi-musisi seperti God Bless, Giant Step sampai AKA/SAS band. Kejayaan ”pop kreatif” ala periode 80-an sangat terwakilkan dengan sisipan kisah Guruh Soekarno Putera sampai Keenan Nasution dan Chrisye.

Oldies Goodies
Data dalam buku ini patut diacungi jempol tentunya. Meskipun ternyata, Musisiku adalah kreatifitas bersama yang bukan untuk uang atau bahkan nama para penulisnya. Mereka adalah Chr Nasution, Fauzi Djunaidi, Jose Choa Linge, Manunggal K. Wardaya, Niantoro Sutrisno, Riza Sihbudi, Syamsudin, Wasis Susilo, Asriat Ginting, serta Denny Sakrie. Mereka tak lain para penggemar sekaligus kolektor musik Indonesia yang tergabung dalam Komunitas Pecinta Musik Indonesia atau KPMI.

Memang, adalah KPMI yang punya ide awal mencetuskan lahirnya buku ini. Berawal dari kerja sama KPMI dengan harian Republika berupa komitmen kerja sama berbentuk penulisan kisah-kisah para musisi Indonesia lawas yang disajikan setiap hari Senin di rubrik Oldies Goodies sejak 29 Mei 2006 lalu.

Berdiri sejak 18 Desember 2005, usia KPMI memang terbilang bau kencur. Namun, lahirnya buku ini atas prakarsa mereka sebagai sebuah komunitas harus dihargai.
Sejatinya, buku Musisiku memang tidak ubahnya dengan cita-cita lahirnya KPMI itu sendiri, yakni berupaya mendokumentasikan perjalanan musik Indonesia di tengah minimnya kemampuan bangsa Indonesia mendokumentasikan perjalanan musik anak bangsanya sendiri.

Dan, rasanya, sah saja jika Musisiku ini mereka sebut sebagai ”Kitab Kuning” Indonesia. Sebuah langkah awal menuju terciptanya Katalog Musik Indonesia.
Secara kualitas, Musisiku memang sudah bisa dijadikan semacam ”pegangan” ihwal perjalanan sejarah musik Indonesia, namun tidak secara kuantitas. Materinya terbilang masih sangat kurang lengkap. Mungkin, karena materi tulisan di buku ini masih berasal dari rentang waktu antara Mei 2006 hingga Oktober 2007 lalu di rubrik Oldies Goodies. Alhasil, masih jauh untuk disebut katalog. Akankah masih ada sambungannya, kita lihat saja! n

Penulis adalah anggota Idekami Communications
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0803/29/opi05.html

No comments: