Thursday, October 30, 2008

Tentang krisis AS ; Lantaran Reruntuhan Wall Street Menimpa Main Street

Lantaran Reruntuhan Wall Street Menimpa Main Street
Catatan Dahlan Iskan

Seberapa besarkah krisis keuangan di Amerika itu sehingga negara tersebut sampai harus ”musyrik” dari agama kapitalisme dengan cara menyuntikkan dana negara USD 700 miliar? Bahkan sampai mau menelan ludah sendiri dengan cara melakukan ”nasionalisasi”?

Memang sangat serius. Apalagi kalau kita menyaksikan siaran televisi CNN, CNBC, atau Bloomberg. Kalutnya bukan main. Bahkan belum diketahui pasti besarnya kerugian yang harus dihadapi. Ada pengamat yang sampai mengistilahkan bahwa AS seperti sedang menghadapi perjudian sebesar USD 60 triliun. Tentu ada juga yang hanya menghitung semua kehebohan itu menyangkut USD 5 triliun. Pokoknya sangat besar, untuk ukuran AS sekalipun.

Tapi, jangan juga dibayangkan bahwa ekonomi negara itu segera ambruk. Nilai USD 700 miliar yang akan disuntikkan tersebut memang hampir sama dengan GNP seluruh penduduk dan negara Indonesia, tapi baru hampir sama dengan anggaran pertahanan negara itu. Atau baru sama dengan tiga tahun biaya perangnya di Iraq. Atau hanya kurang 5 persen dari GNP negara tersebut.

Bahwa ketika pemerintah George Bush mengajukan permintaan anggaran USD 700 miliar tersebut heboh, yang utama bukan karena besarnya. Meski sama dengan GNP seluruh negara di Benua Afrika, nilai itu hanya sama dengan kekayaan 12 orang seperti Bill Gates. Atau sama dengan kekayaan lima perusahaan minyak di sana. Karena itu, ketika mengajukan permintaan tersebut ke DPR, Menteri Keuangan Henry Paulson hanya menyerahkan proposal tiga halaman.

Yang lebih dihebohkan adalah karena itu menyangkut rasa keadilan masyarakat dan melanggar doktrin kapitalisme dengan pasar bebasnya. ”Sekali lagi, orang miskin harus membantu orang kaya,” kata umumnya opini di sana.

Atau sindiran seperti ini: Definisi kapitalisme dan pasar bebas harus diubah menjadi ”boleh mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan cara apa pun dan kalau terperosok ke jurang, pemerintah harus menolong”. Atau: Solusi yang terbaik adalah biarkan mereka bangkrut.

Kebetulan, pemilu sudah dekat. Pemilu presiden maupun pemilu anggota DPR. Karena itu, sikap para anggota DPR menjadi sangat aneh. Secara ilmiah, mereka harus menyetujui permintaan bailout USD 700 miliar itu. Tapi, mereka takut pada kemarahan rakyat atas perilaku para pengusaha keuangan yang mereka sebut begitu rakus (lihat tulisan saya Kalau Langit Dianggap Kurang Tinggi di harian ini edisi 28 September 2008).

Karena itu, sikap umumnya anggota DPR adalah ini: Permintaan bailout tersebut harus kita setujui, tapi jangan saya yang harus ikut menyetujui.

Umumnya mereka tahu akibat buruk kalau DPR tidak menyetujui permintaan presiden itu. Tapi, mereka lebih takut kalau tidak terpilih. Sebab, pemungutan suara dilakukan secara terbuka. Rakyat bisa tahu siapa setuju siapa menolak.

Karena itulah, dalam pemungutan suara pada Senin pekan lalu, permintaan bailout tersebut tidak disetujui DPR dengan suara cukup telak (228 lawan 205). Bahkan, yang terbanyak menolak justru dari partai presiden sendiri.

Lalu, terjadilah sejarah itu: begitu DPR menolak, harga saham terjun bebas. Nilai penurunan tersebut mencapai USD 3,4 triliun. Dunia heboh. Lembaga keuangan panik. Wall Street (pasar modal yang terletak di Jalan Wall Street New York) berjatuhan. Reruntuhannya menimpa main street.

Penolakan DPR untuk menolong orang-orang di Wall Street ternyata berimbas langsung kepada masyarakat umum. Para pengusaha kecil yang semula merasa tidak adil kalau pemerintah menolong perusahaan raksasa kemudian ikut kelimpungan: bank tidak bisa memberi mereka kredit. Banyak perusahaan mengurangi tenaga kerja atau tutup. Kelas pegawai ternyata juga ikut susah.

Maka, opini langsung berubah. Yang menolak bailout dituding sebagai penyebab keruntuhan ekonomi secara lebih luas. Mereka menjadi sasaran kemarahan baru. Para anggota DPR pun setuju untuk bertemu lagi lima hari kemudian. Bahkan bisa lebih cepat kalau saja tidak terhalang tahun baru Yahudi yang merupakan hari libur di AS.

Suasananya mendadak berbalik. Banyak yang menyesal telah menolak bailout itu. Rencana menghemat USD 700 miliar ternyata justru menimbulkan kerugian USD 3,4 triliun dalam satu hari itu saja. Itu baru kerugian langsung. Kerugian akibat dampak berikutnya pasti lebih besar.

Inilah contoh konkret negara yang demokrasinya telah dewasa. Kesalahan bisa segera diperbaiki hanya dalam waktu lima hari. Kepentingan politik memang ada, tapi akal sehat tetap lebih utama.

Dari kejadian itu, saya semakin menghargai keputusan yang pernah diambil Presiden B.J. Habibie dan Presiden Megawati yang dengan cepat menyelesaikan utang-utang para konglomerat dulu itu. Tapi, karena suasana politik waktu itu lagi ”kalut”, keduanya jadi bulan-bulanan.

Saya juga paham dan menghargai jalan pikiran seperti yang dianut Kwik Kian Gie atau umumnya ekonom kerakyatan. Memang sangat tidak adil negara mengeluarkan uang yang begitu besar untuk menolong para konglomerat. Bukankah itu kesalahan mereka sendiri? Mengapa uang rakyat yang dipakai menolong mereka? Apalagi nilainya bukan sekadar 5 persen dari GNP seperti di AS sekarang, melainkan praktis 100 persen dari GNP Indonesia (saat itu).

Bahkan, transparansinya memang patut dipersoalkan karena di masing-masing perusahaan Indonesia yang di-bailout itu umumnya mayoritas sahamnya masih dipegang satu keluarga. Kenyataannya kemudian, dengan berbagai cara, para pemilik itu sendiri yang membeli kembali dengan harga banting-bantingan.

Tapi, kejadian di AS tersebut tetap benar-benar menjadi bukti bahwa kalau utang-utang mereka tidak diselesaikan, ekonomi tidak bisa bergerak (bahkan merosot). Akibatnya, kerugian seluruh bangsa akan jauh lebih besar dari nilai uang yang dipakai menolong mereka. Nasib orang kaya, rupanya, memang lebih mujur. Jatuh pun diselamatkan kasur dan permadani. Sangat pantas kalau rakyat umumnya sangat marah.

Dalam kasus AS, akal sehat segera mencuat. Sambil marah, tetap saja bailout USD 700 miliar harus disetujui. Akhirnya, lima hari kemudian, DPR menyetujui permintaan bailout itu. Memang masih ada 171 orang yang menolak, tapi yang setuju menjadi 263 orang.

Meski DPR sudah menyetujui jalan keluar tersebut, tidak berarti ekonomi AS segera pulih. Banyak analis memperkirakan krisis itu masih akan berlangsung selama enam atau tujuh bulan lagi. Masih harus lama mencari titik keseimbangan baru.

Apalagi kalau benar bahwa bisa saja krisis keuangan tersebut menyangkut uang sampai USD 60 triliun, sebagaimana ditulis majalah Fortune terbaru. Berarti jauh lebih besar dari perkiraan semula yang hanya menyangkut USD 5 triliun. Apalagi, pemerintah AS sedang dalam masa transisi. Pemerintah Bush sudah tidak punya waktu lagi, sementara pemerintah baru belum akan efektif sampai empat bulan lagi.

Belum lagi bailout yang USD 700 miliar itu tidak bisa cair begitu saja. DPR menambahkan banyak persyaratan. Termasuk prosesnya yang harus transparan. Bahkan, mulai dipertanyakan berapa banyak konsultan yang akan dipekerjakan dan berapa gaji mereka. Itu mengingatkan kita bahwa untuk BPPN saja, kita menggunakan ratusan konsultan asing dengan total gaji ratusan miliar rupiah.

Bisa selesai dalam enam atau tujuh bulan? Kok begitu cepat?

Enam atau tujuh bulan itu adalah masa untuk mencapai titik keseimbangan baru. Tentu posisi keseimbangan baru tersebut jauh lebih rendah daripada posisi saat ini. Untuk bisa benar-benar pulih seperti sekarang, para analis sepakat diperlukan waktu lima sampai enam tahun. Berarti, siapa pun presiden baru yang terpilih bulan depan berada dalam posisi yang berat.

Tapi, tetap saja masa enam-tujuh bulan tersebut sangat cepat. Itulah kalau sebuah negara demokrasinya sudah dewasa. Persoalan tersebut bisa cepat diselesaikan justru sebelum merembet ke bidang lain. Kita pun, kalau bisa konsisten menjaga demokrasi ini, kelak akan sampai ke sana juga. Mungkin 16 tahun lagi.

Benarkah krisis yang begitu hebat akan selesai dalam tujuh bulan?

Cepat atau lambat, itu relatif. Kita bisa bilang ”kok cepat” karena kita punya pengalaman buruk. Untuk pulih dari krisis 1997, kita perlu waktu tujuh tahun menormalkannya. Krisis moneter kita sempat ditunggangi oleh kerusuhan rasial dan krisis politik yang mbulet.

Kerumitan itulah yang tidak sampai menyertai krisis moneter di AS sekarang ini. Paling-paling mereka hanya akan memperbarui banyak peraturan di bidang keuangan agar lebih ketat. Misalnya, subprime mortgage akan dilarang. Demikian pula short selling di pasar modal.

Tapi, dalam waktu kurang dari 10 tahun ke depan, lubang-lubang peraturan baru itu pun sudah bisa ditemukan. Kapitalisme akan mendorong pelaku bisnis untuk terus berkelit. Kalau kena jalan buntu, jalan lingkar harus ditemukan. Tidak bisa menemukan jalan lingkar, bikin jalan baru. Tidak bisa bikin, beli! Tidak bisa beli, lakukan hostile! Kalau hostile pun tidak bisa, bikin saja jalan di angan-angan. Laksanakan di kertas atau di layar komputer. Malah tidak perlu aspal, batu, dan kontraktor.

Lalu, jual!

Kalau pembeli bertanya seberapa lebar dan di mana jalan itu, buka saja laptop! Bikin animasi yang bisa menggambarkan jalan itu lengkap dengan mobil yang lalu-lalang, tiang-tiang listrik dan gedung-gedung pencakar langit di kanan kirinya. Karena jalan jenis ini tidak perlu tanah, bikinlah banyak-banyak! Sebanyak yang ada di pikiran. Peraturan yang kian hebat membuat pebisnis kian lihai. Sampai kelak, 20 tahun yang akan datang terjadi lagi krisis yang baru.

Berapa banyakkah uang Indonesia yang terancam lenyap dari krisis di Amerika? Sejauh ini baru Bank BNI yang mengumumkan kemungkinan hilangnya uang yang ditempatkan di Lehman Brothers sebesar USD 7,8 juta (sekitar Rp 72 miliar).

Perkiraan saya total sekitar Rp 10 triliun. Di antara jumlah itu, Surabaya saya kira menyumbang sekitar Rp 1 triliun, melibatkan 100-an orang kaya. Dari Jakarta sekitar Rp 8 triliun melibatkan 1.000-an orang atau lembaga. Yang Rp 1 triliun lagi dari berbagai kota. Mudah-mudahan perkiraan saya terlalu besar. (*)

No comments: