Wednesday, December 31, 2008

Menumbuhkan Keberanian Berbisnis

Menumbuhkan Keberanian Berbisnis
Oleh : Wawancara Safak Muhammad di Republika,

Tak ada orang berbisnis yang rugi. Kalau pun tidak untung, yang pasti ia mendapatkan pengalaman dan pelajaran.


Banyak orang yang ingin berbisnis, namun mereka tidak punya cukup keberanian untuk memulainya. Mereka sudah ketakutan duluan sebelum melangkah. Mereka takut rugi dan bangkrut. Lebih dari itu, mereka takut cemoohan orang, baik keluarga, tetangga maupun teman. ''Orang yang penakut, selamanya tidak akan pernah berani memulai suatu usaha bisnis,'' kata pemilik jaringan bisnis Ayam Bakar Wong Solo (ABWS), Puspo Wardoyo.

Masalahnya di Indonesia, kata Puspo, sejak kecil kita selalu ditakut-takuti, baik oleh orang tua, guru maupun masyarakat. Kita tidak boleh ini tidak boleh itu, karena dikhawatirkan akan terjadi begini atau begitu. ''Akibatnya kita jadi penakut untuk melakukan sesuatu, karena takut gagal dan nanti disalahkan orang,'' tutur pengusaha yang outletnya tersebar di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Pendidikan kita, baik di sekolah maupun rumah, tidak mendidik orang menjadi berani. Sebaliknya, malah mendidik orang jadi penakut. Misalnya, ada anak kecil yang mau memetik mangga. Orang tua melarangnya, karena takut nanti anak itu terjatuh. Akibatnya, anak itu jadi tidak berani naik pohon mangga. ''Padahal, kalau dibiarkan dia naik pohon mangga, dia bisa memetik 10 buah mangga, misalnya. Kalau pun dia terjatuh, bawa ke dokter dan obati, beres. Namun hikmahnya, ia punya ketrampilan baru, yakni bisa naik pohon mangga,'' papar pengusaha yang gemar bersedekah itu.

Ibarat main bola, kata Puspo, kita selalu dipusingkan oleh urusan takut offside atau hands ball. Akibatnya kita tidak pernah mencetak goal. ''Coba perhatikan, tim-tim luar negeri. Bagi mereka, kartu merah pun tidak masalah, yang penting bisa bikin goal.''

Bila filosofi tersebut dikaitkan dengan bisnis, kata dia, orang bisnis tak boleh takut salah atau takut rugi. ''Pada dasarnya, orang yang berbisnis itu tidak ada yang rugi. Bahkan, kalaupun kita tidak untung, sesungguhnya kita tidak rugi, sebab kita tetap mendapatkan pengalaman. Pengalaman itu merupakan guru yang baik,'' tegasnya.

Jadi, kata dia, sebetulnya dalam bisnis itu tidak ada risiko. ''Yang ada adalah pengalaman. Salah atau tidak untung bukan risiko. Itu adalah pengetahuan yang berguna untuk langkah-langkah berikutnya. Orang yang tidak pernah salah, tidak akan maju. Pengusaha yang tidak pernah salah, tidak akan sukses,'' tegasnya.

Prinsip tersebut berlaku, baik bagi pengusaha kecil dan menengah, maupun pengusaha besar. ''Pada dasarnya, prinsip keberanian dalam berbisnis merupakan prinsip yang universal dan berlaku untuk bisnis apa pun, dan skala apa pun,'' tandasnya.

Puspo menegaskan, pendidikan kita harus diluruskan. Sekolah harus berhenti mengancam/menakut-nakuti murid. Orang tua pun harus berhenti menakut-nakuti anak. ''Biarkanlah anak-anak kita menjadi pemberani,'' tandasnya. Puspo lalu mengutip hadits Rasulullah saw, yang artinya, ''Berani itu di antara takut dan ceroboh. Dermawan itu di antara pelit dan boros. Allah mencintai yang tengah-tengah.''

Kalau ditanya, manakah yang lebih penting dalam berbisnis: modal uang atau modal keberanian, menurut Puspo, yang lebih penting adalah modal keberanian. ''Modal uang itu bisa dicari. Bahkan, kalaupun orang tidak punya uang, dia tetap bisa berbisnis dengan cara menumbuhkan kepercayaan kepada orang agar mau menitipkan bisnisnya kepadanya, atau menjalin kerja sama. Namun, kalau keberanian tidak ada, modal sebesar apa pun tidak ada artinya,'' tegasnya.

Mengapa? ''Sebab, orang yang tidak punya keberanian untuk berbisnis, maka ia akan selalu takut dan ragu-ragu untuk memulai. Ia selalu dihantui oleh bayangan akan kegagalan dan cemoohan orang. Ia menjadi pesimistis,'' ujarnya.

Sebaliknya, orang yang pemberani, ia selalu siap menghadapi segala kemungkinan. ''Ia selalu optimistis, sehingga ia selalu melangkah dengan yakin,'' tuturnya.

Bagaimanakah cara menumbuhkan keberanian berbisnis? Menurut Puspo, kuncinya adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya. ''Kita harus memulai setiap langkah kita, termasuk dalam berbisnis dengan Bismillah dan bertawakkal kepada Allah. Kita harus meyakini, bahwa Allah selalu melihat dan mendampingi kita, di mana pun kita berada. Allah selalu siap menolong kita.

Allah selalu melindungi kita. Pendek kata, kita harus selalu menyertakan Allah dalam setiap langkah kita. Jika semua itu kita lakukan, maka kita akan menjadi orang yang berani mengambil keputusan dan melaksanakan keputusan tersebut, termasuk dalam berbisnis,'' tegasnya.

Karena itulah, kata Puspo, untuk membuat diri kita berani, maka kita harus mempelajari dan memperdalam agama. Sebab, Allah dan Rasul-Nya selalu mendidik kita agar menjadi orang yang pemberani. ''Makin kita mendalami ajaran Islam, kita akan makin berani menjalan hidup, termasuk menekuni bisnis,'' tandasnya.




Kerjakan Apa yang Anda Takuti!

Dr Ir Wahyu Saidi MSc
(Pimpinan dan Pemilik Bakmi Langgara dan Bakmi Tebet Group; Penulis buku best seller Berani Memulai Bisnis'; Dosen Universitas Negeri Jakarta)

Apakah definisi berani? Berani adalah menjalani apa yang kita takuti. Kalau apa yang kita takuti itu kita jalani, maka kita jadi berani. Memang bisnis bagi orang Indonesia, menakutkan. Dari kecil kita tidak boleh berbisnis. Mau nikah, yang ditanya oleh calon mertua adalah 'Kerja di mana?' atau 'Kerja apa?' Jadi, bukan 'Bisnis apa?'

Memang bisnis bukan sesuatu yang akrab bagi budaya kita. Bahkan di kalangan budaya tertentu, khususnya di sejumlah Kraton di Nusantara, menjadi pebisnis adalah profesi nomor dua atau tiga.

Kalau kita mau berbisnis, kita harus mengakrabkannya. Ambil contoh anak kecil. Kalau lihat kucing dan dengar suaranya, ia jadi takut. Namun, kalau kucing tersebut perlahan-lahan ia akrabi, lama-kelamaan rasa takut anak kecil itu akan hilang.

Jadi, bagaimana menumbuhkan keberanian dalam berbisnis? Pertama, kita harus memandang bisnis sebagai bagian dari pekerjaan, yang kurang lebih sama dengan pekerjaan-pekerjaan lain, seperti menjadi karyawan perusahaan swasta, karyawan perusahaan asing, maupun Pegawai Negeri Sipil (PNS)/TNI. Jadi, pekerjaan bisnis itu sifatnya netral, sama seperti pekerjaan lainnya.

Kedua, jangan tanamkan bahwa berbisnis itu penuh risiko. Sebab, risiko itu bagian dari hidup. Bahwa bisnis itu berisiko, ya. Tapi yang berisiko tidak hanya bisnis. Kita bekerja di perusahaan swasta, bisa kena PHK. Kita bekerja di perusahaan asing, bisa saja perusahaan tersebut bangkrut. Kita jadi PNS, bisa saja diturunkan jabatan.

Memang, pendidikan kita kurang menekankan pada kreativitas. Yang ditonjolkan lebih banyak otak kiri. Ujiannya pilihan berganda, guru tidak siap berdebat, pendidikan tidak membentuk etos entrepreneur. Padahal, dunia bisnis adalah dunia kreatif. Karena tidak terbiasa berbisnis, kita gampang mengalami tekanan mental.

Kalau orang yang sudah biasa, rasanya nikmat. Misalnya, main karate. Kalau langsung nonton pertandingan, kelihatannya menakutkan. Apalagi kalau full body contact. Berbeda halny kalau kita sudah latihan dan menguasai jurus-jurusnya, bertanding terasa menyenangkan. Bahkan, kalau tidak ada pertandingan, rasanya tidak betah. Rasanya ingin cari lawan untuk menguji kemampuan.

Begitu pula bisnis. Kalau sudah diterjuni dan dikuasai, tak ada lagi rasa takut. Yang ada adalah gairah dan kenikmatan untuk menekuninya. Nah, kalau sudah ada keberanian, maka modal itu bisa nomor tiga, bahkan nomor 12.




Harus Bisa Mengukur Risiko

Safak Muhammad, SE, MM
(Penulis buku best seller 'Kaya tanpa Bekerja', 'Cara Mudah Orang Gajian Menjadi Entrepreneur', dan 'Keberkahan Finansial'; Pimpinan Penerbit Media Sukses, penerbit buku-buku bisnis)

Modal awal untuk berbisnis itu adalah kemauan dan niat yang kuat. Niat yang kuat itu terkait dengan tujuan yang ingin dicapai. Kalau tujuan kita jelas, maka kita akan berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya.

Misalnya, kita ingin berbisnis, dengan target memperoleh kebebasan pribadi (tidak lagi menjadi orang suruhan) maupun kebebasan finansial (tercukupinya kebutuhan keuangan).

Untuk memiliki niat yang kuat, kita harus bisa membedakan untung-rugi mengerjakan bisnis tersebut. Apa untungnya, kalau bisnis tersebut kita garap sekarang, dan apa ruginya kalau bisnis itu tidak kita laksanakan sekarang atau kita tunda.

Kedua, kita harus mampu mengukur risiko yang bisa kita tanggung untuk menekuni bisnis tersebut. Kemampuan menanggung risiko itu tidak hanya menyangkut uang, tapi juga mental/psikologis. Kadang-kadang orang tidak tahu berapa besar sebenarnya dia bisa menanggung risiko berbisnis. Misalnya, bagi si A, uang Rp 100 juta itu adalah jumlah yang kecil, sebab ia mempunyai cadangan dana Rp 1 miliar. Jadi, kalaupun ia rugi bisnis Rp 100 juta, ia masih mempunyai cadangan dana yang relatif besar, dan ia tidak down karenanya. Namun bagi si B, angka Rp 100 juta itu merupakan jumlah yang besar, dan hanya itulah satu-satunya cadangan dana yang dia miliki. Kalau risiko yang bisa ia tanggung adalah Rp 30 juta, maka sebaiknya ia menggunakan dananya untuk bisnis tak lebih dari Rp 30 juta. Kalaupun usaha bisnisnya gagal, ia tidak stress, dan masih punya cadangan dana yang relatif cukup.

Ketiga, langkah selanjutnya sebelum memulai bisnis adalah mempelajari terlebih dahulu bisnis apa yang akan dipilih. Sebaiknya kita memilih bisnis yang kita kuasai dan kita yakini akan berhasil. Kadang-kadang orang terpaku pada keberhasilan orang lain, lalu ikut-ikutan mencoba bisnis tersebut, padahal dia tidak menguasainya. Kita juga jangan menekuni bisnis hanya karena sekadar ikut fenomena atau tren. Misalnya, beberapa waktu lalu, bisnis pisang goreng pontianak sangat menggiurkan. Maka, bisnis serupa pun menjamur di mana-mana. Kini, bisnis tersebut sudah mulai meredup, sebab sudah relatif jenuh.

Bisnis itu ada pasang-surutnya. Kalau kita tidak yakin dan tidak menguasai bisnis tersebut, kita gampang down manakala bisnis tersebut mengalami masalah. Namun, kalau kita menguasai bisnis tersebut, kita tidak gampang down, biarpun bisnis sedang mengalami surut. Sebaliknya, kalau kita yakin sukses, kita akan all out menekuni bisnis tersebut, sehingga berhasil merengkuh sukses.

(irwan kelana )

Artikel / wawancara ini diambil dari Harian Republika, 12 Nopember 2006

No comments: